BULAN RAMADHAN

BULAN RAMADHAN

Saudaraku, bulan Ramadhan adalah sebuah karunia besar di antara sekian banyak karunia Allah ﷻ yang telah diberikan kepada kita. Di antara karunia-karunia tersebut, ada karunia yang berkaitan dengan ikhtiar Manusia untuk mendapatkannya seperti harta, pasangan, keturunan dan lain sebagainya. Adapun bulan Ramadhan, ia adalah karunia yang sama sekali tidak berkaitan dengan ikhtiar Manusia. Bahkan sudah menjadi ketentuan dari Allah ﷻ akan kedatangannya menghampiri Manusia setiap tahunnya.

Pertanggungjawaban Nikmat

Setiap nikmat atau karunia tentu akan diminta pertanggung jawabannya, begitu pula dengan karunia berupa Ramadhan. Allah ﷻ berfirman:

ثُمَّ لَتُسۡأَلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. [At Takathur:8]

Saudaraku, bagaimana jawaban kita kelak ketika ditanya “Bagaimana engkau menyambut datangnya kenikmatan itu? Bagaimana engkau beramal di waktu itu? Dan bagaimana sikapmu ketika kenikmatan itu telah berlalu?”.

Saudaraku, mari kita simak bagaimana Rasulullah ﷺ dan generasi terdahulu mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Ramadhan:

قال معلى بن الفضل عن السلف رحمهم الله: “كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم رمضان، ثم يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم”

Ma’la bin al Fadhl menceritakan perihal Salaf terdahulu: “Mereka senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ semenjak 6 bulan (sebelum Ramadhan) agar Allah ﷻ menyampaikan mereka pada bulan Ramadhan, kemudian mereka terus berdoa kepada Allah ﷻ selama 6 bulan setelah Ramadhan agar Allah ﷻ menerima amalan mereka.

وقال يحي بن أبى كثير: “كان من دعائهم: اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِيْ إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـيْ رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِيْ مُتَقَبَّلاً”

Yahya bin Abi Katsir berkata: “Di antara doa Salaf terdahulu adalah: Ya Allah! Sampaikanlah aku hingga bulan Ramadhan, dan sampaikanlah Ramadhan kepadaku, serta terimalah amalan-amalanku di bulan Ramadhan”[1]

Kapan Menyambut Ramadhan?

Saudaraku, enam bulan sebelum Ramadhan generasi terdahulu sudah mampu merasakan akan datangnya bulan Ramadhan. Padahal di penghujung Sya’ban saja sering kali kita belum mampu merasakan apa-apa. Terasa mengherankan mungkin, namun cinta dan rindu itu dari dulu memang seperti itu.

Saudaraku, dalam cinta dan rindu tak ada batasan tempat dan waktu. Lihatlah cinta dan rindu Ya’qub AS kepada Yusuf AS. Di mana baju Yusuf AS masih berada bermil-mil jauhnya, namun cinta dan rindu mengantarkan aroma Yusuf AS kepadanya. Allah ﷻ berfirman:

وَلَمَّا فَصَلَتِ ٱلۡعِيرُ قَالَ أَبُوهُمۡ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَۖ لَوۡلَآ أَن تُفَنِّدُونِ  ٩٤ [ يوسف: 94]

Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)”. [Yusuf:94]

قَالُواْ تَٱللَّهِ إِنَّكَ لَفِي ضَلَٰلِكَ ٱلۡقَدِيمِ  ٩٥ [ يوسف: 95]

Keluarganya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu”. [Yusuf:95]

Asy Syarif ar Ridho pernah mengungkapkan dalam sya’irnya:

سهم أصاب وراميه بذي سلم           من بالعراق، لقد أبعدتِ مرماكِ

Sebuah anak panah mengenai padahal pemanahnya ada di Dzi Salam (Hijaz)

Orang yang ada di Iraq, sungguh sangat jauh sasaranmu itu

Saudaraku, jarak antara perbatasan Mesir dan Palestina tidak menghalangi aroma Yusuf u, sebagaimana orang yang berada di Iraq juga tak luput dari anak panah yang dilesatkan dari Hijaz. Cinta dan rindulah rahasianya. Jika kita benar-benar cinta pada bulan Ramadhan, maka akan ada rindu, dan rindu itulah yang akan menghadirkan suasana Ramadhan di setiap bulan yang kita lewati.


[1] لطائف المعارف لابن رجب (ص148)

KESUCIAN CINTA

KESUCIAN CINTA

Apa Itu Cinta?

Cinta adalah sebuah ungkapan rasa yang tidak sederhana, ia mudah diucapkan namun sangat sulit untuk didefinisikan. Rasa cinta sering memunculkan bermacam sikap dan perilaku yang berbeda. Sikap dan perilaku yang baik akan membawa nama baik cinta, sedangkan sikap dan perilaku yang buruk akan membawa pula nama buruk cinta.

Allah ﷻ membekali setiap makhluk-Nya dengan cinta, sehingga dunia ini berjalan sebagaimana mestinya. Matahari, Bumi, Bulan, Bintang, semuanya bergerak sesuai posisinya karena cinta mereka kepada Allah ﷻ. Pohon berbuah, sungai mengalir, angin berhembus, serta lautan bergelombang, semuanya juga dikarenakan cintanya kepada Allah ﷻ.

Perhatikanlah hewan ternak yang menyusui anaknya, burung yang mencari makan untuk anaknya, serta hewan lain yang sedang bersama anak mereka. Bukankah semua itu terjadi karena Allah ﷻ menanamkan rasa cinta dalam diri makhluk tersebut terhadap anak-anak mereka? Demikian juga manusia, sesungguhnya Allah ﷻ juga telah menanamkan rasa cinta ke dalam dada kita.

Apa Salah Cinta?

Sering kali cinta disalahkan dan harus menanggung beban, seolah ia harus selalu bertanggung jawab atas perbuatan buruk manusia yang mengatasnamakan cinta. Terkadang ia disebut gila ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta kehilangan akalnya, terkadang ia disebut buta ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta tak mampu melihat apa yang ada dengan mata kepalanya. Bahkan ia dikatakan sebagai sesuatu yang jahat, keji dan hina, manakala ada manusia yang sedang jatuh cinta merasa tersakiti, kecewa hingga binasa.

Sekali lagi, bukan salah cinta. Sesungguhnya sikap dan perilaku manusialah yang mengotori kesucian cinta. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta. Perhatikanlah bagaimana sikap Rasulullah ﷺ terhadap mereka yang sedang jatuh cinta:

عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ، كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعبَّاسٍ: «يَا عَبَّاسُ، أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا» فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ رَاجَعْتِهِ» قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: «إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ» قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيهِ.

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Bariroh adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Bariroh di belakangnya sambil menangis dan air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Maka Nabi bersabda kepada ‘Abbas, “Wahai ‘Abbas! Tidakkah engkau heran terhadap besarnya cinta Mughits kepada Bariroh, serta besarnya kebencian Bariroh terhadap Mughits?.”

Lalu Nabi bersabda kepada Bariroh, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”

Bariroh mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Apakah sedang memberikanku perintah?”

Nabi menjawab, “Sesungguhnya aku hanya menjadi Syafi’ (perantara)”

Bariroh berkata, “Aku tidak ada kebutuhan padanya.” (HR. Bukhori no. 5283)

Kisah Cinta Mughits

Bariroh menjadi wanita merdeka, sedangkan Mughits tetap dalam statusnya sebagai seorang budak. Karena di antara mereka sudah tidak lagi sekufu’, maka Bariroh berhak untuk minta diceraikan atau dipisahkan dari suaminya.

Sang mantan suami yang masih sangat mencintai Bariroh, tidak mampu lepas dari bayang-bayangnya. Sering kali ia mengikuti Bariroh sambil berlinang air mata, berharap agar Bariroh kembali ke dalam pelukannya. Namun faktanya, tidak terbesit sedikit pun dalam hati Bariroh untuk kembali.

Melihat kondisi tersebut, Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta yang ada pada diri Mughits. Bahkan beliau memberi saran kepada Bariroh untuk kembali kepada Mughits, agar mata yang menangis dan hati yang terluka karena rasa cinta, kembali terobati oleh cinta pula.

Kisah senada juga pernah terjadi, ketika seorang sahabat mengadu kepada Nabi ﷺ akan perilaku buruk istrinya. Saat itu beliau menyarankan agar ia menceraikan istrinya, namun sahabat tersebut merasa berat karena ia masih sangat mencintai istrinya tersebut. Akhirnya Rasulullah ﷺ pun membiarkannya dan tak pernah sekalipun mencela dan menyalahkan cinta.

Masihkah kita mencela dan menyalahkan cinta?

Jika cinta kita tujukan dan kita tempatkan serta dibingkai sebagaimana mestinya, tentulah ia tetap pada kesuciannya. Cinta pada dunia tidak seharusnya menjadikan kita takut akan kematian dan lupa akan akhirat. Cinta pada selain Allah ﷻ tidak seharusnya mengalihkan cinta kita kepada Allah ﷻ.

Belajarlah dari Nabi kita ﷺ, bagaimana beliau mencintai istri, anak, keluarga, sahabat dan umat. Bahkan beliau juga mencintai tempat dan benda lainnya seperti: Makkah, Madinah, wewangian, kendaraan serta Hajar Aswad.

Cinta adalah Anugrah dari Yang Maha Kuasa kepada setiap jiwa, maka janganlah lagi kita menodai kesucian cinta dengan sikap dan perilaku buruk kita!

Salam cinta………..

NABI DAN SYUHADA PUN IRI

NABI DAN SYUHADA PUN IRI

Tiada yang meragukan, bahwa para nabi dan syuhada adalah golongan Manusia yang mendapatkan kemuliaan dari Allah ﷻ. Mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi nan mulia di sisi-Nya, sehingga wajar banyak Manusia lain yang mendamba untuk mendapatkan kedudukan yang sama.

Ada sekelompok Manusia, mereka bukan golongan para nabi atau syuhada. Namun para nabi dan syuhada pun bahkan iri kepada mereka, karena kemuliaan yang telah Allah ﷻ berikan kepada mereka. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ تُخْبِرُنَا مَنْ هُمْ. قَالَ هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا فَوَاللَّهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لاَ يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلاَ يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ». وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ)

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat sekelompok manusia yang bukan para nabi dan bukan pula orang-orang yang mati syahid. Para nabi dan orang-orang yang mati syahid merasa iri kepada mereka pada Hari Kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Ta’ala.” Mereka(para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Anda akan mengabarkan kepada kami siapakah mereka? Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh (dari) Allah bukan karena hubungan kekerabatan di antara mereka, bukan pula karena adanya harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka adalah cahaya, dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya, tidak merasa takut ketika orang-orang merasa takut, dan tidak bersedih ketika orang-orang merasa bersedih.” Dan beliau membaca ayat ini (yang artinya),

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

(HR. Abu Dawud)

Para nabi dan syuhada adalah golongan Manusia yang sangat besar ujian serta cobaannya, sangat besar perjuangan serta perjuangannya. Para nabi harus tulus menyampaikan, serta rela disustakan; para syuhada harus rela mengorbankan harta bahkan jiwa dan raga.

Maka perhatikanlah orang-orang yang saling mencintai karena Allah ﷻ! Mereka rela ketika saling berbeda, mereka memberikan cinta yang sama, mereka pun mengalami sakit yang sama. Senyum mereka pada saudaranya, Allah ﷻ menggantinya dengan cahaya yang ada pada wajah mereka. Kesedihan mereka atas apa yang menimpa saudaranya, menjadikan Allah ﷻ menghilangkan ketakutan serta kesedihan pada diri mereka.

Saudaraku! Inilah ukhuwah, Aku mencintai karena Allah

qiroati

Kita memang terlahir dari rahim yang berbeda
Ibu kita berbeda, bahkan ayah kita pun tak sama

Tak pernah aku mengenalmu sebelumnya
Bahkan dirimu tak ada dalam potongan-potongan ingatan masa kecilku

Saat pintu tetangga tertutup rapat
Saat pagar dan tembok tinggi menjulang
Saat sanak kerabat dan keluarga jauh di sana
Saat jodoh tak kunjung ku temukan
Engkau hadir
Mewarnai dan memberikan goresan tinta dalam lembaran kehidupanku

Canda tawa bersamamu
Suka dan duka pun bersamamu

Kadang bahagia engkau berikan
Kesal dan kecewa pun tak jarang engkau goreskan

Namun kesal dan kecewa tak ada harganya
Jika dibandingkan dengan hadirmu dalam jiwa

Kadang kata-katamu indah bagaiakan bunga yang sedang mekar
Kadang kata-katamu juga menusuk tajam bagaikan duri mawar

Sejatinya ia hanyalah duri kecil yang tiada arti
Bagi sebongkah hati yang telah teruji

Namun hati ini belumlah teruji
Sehingga duri kecil pun bagaikan paku besi

Jujur, aku lemah dan lengah tanpamu
Hadirnya dirimu menghadirkan sebuah suasana
Untuk saling menasehati dalam kebenaran serta kesabaran

Dalam persahabatan bukan berarti tak ada seteru
Sebab ketika manusia bersama pastilah perbedaan itu ada

Namun yakinlah bahwa
Tatkala kita terpisah, saling rindu akan ada

Rindu itu bukan hanya akan kesamaan
Bahkan rindu itu juga akan perbedan

Perbedaan itu bisa menjadi indah
Ada daun ada bunga
Keduanya berbeda
Baik rupa ataupun warna
Mereka indah karena berbeda
Bunga tetaplah bunga
Dan daun tetaplah daun
Jangan paksakan bunga menjadi daun
Dan jangan paksakan daun menjadi bunga

Aku adalah aku
Dan dirimu adalah dirimu
Semoga kita menjadi indah
Layaknya daun dan bunga

Wahai sahabat!
Selain keluarga dan harta
Engkau adalah karunia Allah yang tiada tara
Semoga engkau sudi membersamaiku di dunia dan akhirat

AKU BANGGA SEBAGAI ISTRIMU

AKU BANGGA SEBAGAI ISTRIMU

Sebulan atau sampai beberapa bulan setelah pernikahan, biasanya seorang istri masih dengan bangga mencatut nama suami dalam nama panggilan dirinya. Saat ia ditanya via sms atau telepon “Ini dengan saudari siapa?” Dengan mantap ia pun menjawab “Ini saya, Istri Fulan”

Hal tersebut biasanya berlangsung sampai kelahiran seorang anak. Sebab, setelah dikaruniai seorang anak, sebagian besar Orangtua akan mencatut nama anak dalam nama panggilannya. Maka tidak heran, yang tadinya dipanggil dengan Istri Fulan berganti menjadi Ummu Fulan.

Dalam tulisan saya kali ini, bukan berarti saya menyalahkan panggilan dengan sebutan ummu fulan. Sebab, panggilan tersebut juga masyhur di zaman Rasulullah ﷺ, seperti: Ummu Aiman, Ummu Salamah, Ummul Fadhl, dan sebagainya. Bahkan dalam Al-Qur’an juga ada penyebutan Ummu Musa.

Perlu kita ketahui, ternyata Al-Quran sangat sering mencatut nama suami dalam panggilan wanita yang telah bersuami. Allah ﷻ berfirman:

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٥

(Ingatlah), ketika isteri ´Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”[1]

۞وَقَالَ نِسۡوَةٞ فِي ٱلۡمَدِينَةِ ٱمۡرَأَتُ ٱلۡعَزِيزِ تُرَٰوِدُ فَتَىٰهَا عَن نَّفۡسِهِۦۖ قَدۡ شَغَفَهَا حُبًّاۖ إِنَّا لَنَرَىٰهَا فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٣٠

Dan wanita-wanita di kota berkata: “Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata”[2]

فَأَقۡبَلَتِ ٱمۡرَأَتُهُۥ فِي صَرَّةٖ فَصَكَّتۡ وَجۡهَهَا وَقَالَتۡ عَجُوزٌ عَقِيمٞ ٢٩

Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: “(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul”[3]

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱمۡرَأَتَ نُوحٖ وَٱمۡرَأَتَ لُوطٖۖ كَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَيۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَٰلِحَيۡنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمۡ يُغۡنِيَا عَنۡهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيۡ‍ٔٗا وَقِيلَ ٱدۡخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ ١٠

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”[4]

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱمۡرَأَتَ فِرۡعَوۡنَ إِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ٱبۡنِ لِي عِندَكَ بَيۡتٗا فِي ٱلۡجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ١١

Dan Allah membuat isteri Fir´aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir´aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim[5]

وَٱمۡرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلۡحَطَبِ ٤

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar[6]

Hikmah

Wahai para istri! Jangan pernah ragu ataupun malu, untuk mencatut nama suami dalam panggilan anda. Sebab, Al-Qur’an pun sering menyebutkannya.

Wahai para suami! Perbaikilah dirimu selalu, agar istrimu mampu dengan mantap menyatakan bahwa ia adalah istrimu. Jangan engkau hinakan dirimu, sehingga istrimu ragu atau bahkan malu, untuk menyatakan bahwa ia adalah istrimu.

Wahai para istri! Berpikirlah dua kali sebelum engkau bertindak. Sebab, kebaikan ataupun keburukan yang engkau lakukan, akan berefek pula kepada suami.

Siapa yang tidak tahu akan kesalehan nabi Nuh dan nabi Luth ‘Alaihimas Salam. Namun nama mereka tercatut dalam ayat perumpamaan bagi orang-orang kafir. Yang demikian tidak lain adalah karena perbuatan buruk dari istri mereka.

Siapa yang tidak tahu akan keburukan Fir’aun. Namun namanya tercatut dalam ayat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman. Yang demikian tidak lain adalah karena perbuatan baik dari istrinya.

Wahai para suami! Didiklah istri-istrimu dengan sebaik-baiknya. Sebab, jika mereka baik, maka engkau akan mendapatkan kebaikan pula. Namun jika mereka buruk karena kurangnya pendidikan yang engkau berikan, maka engkau akan mendapatkan keburukan pula.

Saya adalah Istri Fulan

Panggil saja saya Bu Fulan


[1] QS. Ali Imron: 35

[2] QS. Yusuf: 30

[3] QS. Adz-Dzariyat: 29

[4] QS. At-Tahrim: 10

[5] QS. At-Tahrim: 11

[6] QS. Al-Masad: 4

SAKIT ITU SIKSA ATAU CINTA?

SAKIT ITU SIKSA ATAU CINTA?

Hikmah sakit | Semua orang pasti pernah merasakan sakit, baik itu sakit pada fisik ataupun psikisnya. Jika sakit, semua kenikmatan yang ada terasa sirna. Lidah tak lagi mampu menikmati lezatnya makanan, mata tak lagi mampu menikmati indahnya pemandangan. Belum lagi ditambah rasa perih, luka, serta rasa lain yang menyiksa turut serta mendera.

Begitulah sekiranya gambaran sakit. Sehingga sangat wajar, jika dikatakan bahwa sakit adalah siksa, karena memang ia menyiksa siapa pun yang mengalaminya. Lalu jika ada seseorang yang sakit, apakah hal itu selalu pertanda bahwa Allah ﷻ sedang menyiksa hamba tersebut?

Saudaraku, jika Anda adalah seorang Bapak atau Ibu, apa sekiranya yang Anda rasakan saat sang Buah Hati tercinta mengalami sakit? Saudaraku, apa yang Anda rasakan saat orang terdekat Anda sedang tertimpa musibah?

Bermacam rasa bercampur, dalam komposisi yang tidak bisa dijelaskan oleh angka tentunya. Namun di antara sekian rasa itu, ada rasa yang mendominasi atas sebagiannya. Jika mereka sakit, apakah Anda merasa iba? Apakah cinta Anda bertambah? Apkah Anda melupakan kesalahan-kesalahannya? Jawab saja iya!

Betapa sering Anda dibuat kesal, entah itu oleh anak atau orang terdekat lainnya. Namun kekesalan itu tiba-tiba hilang saat mereka sakit. Betapa banyak kesalahan yang telah mereka buat, namun tiba-tiba Anda memaafkan semua kesalahannya saat mereka sakit. Betapa banyak air mata Anda tertumpah, betapa banyak janji terucap, betapa banyak kecupan dan pertanyaan dilontarkan, semua itu saat mereka sakit.

Itu semua adalah gambaran cinta serta sikap seorang makhluk pada makhluk lainnya. Lalu bagaimana cinta Allah ﷻ Sang Pencipta pada hamba-Nya? Perhatikan Hadits berikut!

Rasulullah  kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya.
Rasulullah
bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya. ”Maka Rasulullah bersabda,
“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Sekarang apakah Anda sudah paham, kenapa Allah ﷻ memberikan sakit pada hamba-Nya? Iya, Ia ingin menghapus segala dosa yang telah diperbuat oleh hamba-Nya, Ia ingin memperbesar rasa cinta pada hamba tersebut. Sekarang Anda juga mungkin paham, kenapa Rasulullah ﷺ mengalami sakit yang luar biasa menjelang wafatnya. Beliau tiada memiliki dosa, sakit itu tidak lain hanya untuk menambah cinta dan kemuliaan baginya.

 

Wahai jiwa yang sedang sakit tubuhnya!
Wahai jiwa yang sedang terenggut kenikmatannya!
Sakitmu adalah penggugur dosa
Sakitmu adalah tanda cinta
Aku hanya bisa berkata
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Musthofa
“Sabarlah wahai keluarga Yasir! Karena sesungguhnya yang dijanjikan untuk kalian adalah Surga”