Cinta adalah sebuah ungkapan rasa yang tidak sederhana, ia mudah diucapkan namun sangat sulit untuk didefinisikan. Rasa cinta sering memunculkan bermacam sikap dan perilaku yang berbeda. Sikap dan perilaku yang baik akan membawa nama baik cinta, sedangkan sikap dan perilaku yang buruk akan membawa pula nama buruk cinta.
Allah ﷻ membekali setiap makhluk-Nya dengan cinta, sehingga dunia ini berjalan sebagaimana mestinya. Matahari, Bumi, Bulan, Bintang, semuanya bergerak sesuai posisinya karena cinta mereka kepada Allah ﷻ. Pohon berbuah, sungai mengalir, angin berhembus, serta lautan bergelombang, semuanya juga dikarenakan cintanya kepada Allah ﷻ.
Perhatikanlah hewan ternak yang menyusui anaknya, burung yang mencari makan untuk anaknya, serta hewan lain yang sedang bersama anak mereka. Bukankah semua itu terjadi karena Allah ﷻ menanamkan rasa cinta dalam diri makhluk tersebut terhadap anak-anak mereka? Demikian juga manusia, sesungguhnya Allah ﷻ juga telah menanamkan rasa cinta ke dalam dada kita.
Apa Salah Cinta?
Sering kali cinta disalahkan dan harus menanggung beban, seolah ia harus selalu bertanggung jawab atas perbuatan buruk manusia yang mengatasnamakan cinta. Terkadang ia disebut gila ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta kehilangan akalnya, terkadang ia disebut buta ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta tak mampu melihat apa yang ada dengan mata kepalanya. Bahkan ia dikatakan sebagai sesuatu yang jahat, keji dan hina, manakala ada manusia yang sedang jatuh cinta merasa tersakiti, kecewa hingga binasa.
Sekali lagi, bukan salah cinta. Sesungguhnya sikap dan perilaku manusialah yang mengotori kesucian cinta. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta. Perhatikanlah bagaimana sikap Rasulullah ﷺ terhadap mereka yang sedang jatuh cinta:
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Bariroh adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Bariroh di belakangnya sambil menangis dan air matanya mengalir membasahi jenggotnya.
Maka Nabi ﷺbersabda kepada ‘Abbas, “Wahai ‘Abbas! Tidakkah engkau heran terhadap besarnya cinta Mughits kepada Bariroh, serta besarnya kebencian Bariroh terhadap Mughits?.”
Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada Bariroh, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”
Bariroh mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Apakah sedang memberikanku perintah?”
Nabi ﷺ menjawab, “Sesungguhnya aku hanya menjadi Syafi’ (perantara)”
Bariroh berkata, “Aku tidak ada kebutuhan padanya.” (HR. Bukhori no. 5283)
Kisah Cinta Mughits
Bariroh menjadi wanita merdeka, sedangkan Mughits tetap dalam statusnya sebagai seorang budak. Karena di antara mereka sudah tidak lagi sekufu’, maka Bariroh berhak untuk minta diceraikan atau dipisahkan dari suaminya.
Sang mantan suami yang masih sangat mencintai Bariroh, tidak mampu lepas dari bayang-bayangnya. Sering kali ia mengikuti Bariroh sambil berlinang air mata, berharap agar Bariroh kembali ke dalam pelukannya. Namun faktanya, tidak terbesit sedikit pun dalam hati Bariroh untuk kembali.
Melihat kondisi tersebut, Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta yang ada pada diri Mughits. Bahkan beliau memberi saran kepada Bariroh untuk kembali kepada Mughits, agar mata yang menangis dan hati yang terluka karena rasa cinta, kembali terobati oleh cinta pula.
Kisah senada juga pernah terjadi, ketika seorang sahabat mengadu kepada Nabi ﷺ akan perilaku buruk istrinya. Saat itu beliau menyarankan agar ia menceraikan istrinya, namun sahabat tersebut merasa berat karena ia masih sangat mencintai istrinya tersebut. Akhirnya Rasulullah ﷺ pun membiarkannya dan tak pernah sekalipun mencela dan menyalahkan cinta.
Masihkah kita mencela dan menyalahkan cinta?
Jika cinta kita tujukan dan kita tempatkan serta dibingkai sebagaimana mestinya, tentulah ia tetap pada kesuciannya. Cinta pada dunia tidak seharusnya menjadikan kita takut akan kematian dan lupa akan akhirat. Cinta pada selain Allah ﷻ tidak seharusnya mengalihkan cinta kita kepada Allah ﷻ.
Belajarlah dari Nabi kita ﷺ, bagaimana beliau mencintai istri, anak, keluarga, sahabat dan umat. Bahkan beliau juga mencintai tempat dan benda lainnya seperti: Makkah, Madinah, wewangian, kendaraan serta Hajar Aswad.
Cinta adalah Anugrah dari Yang Maha Kuasa kepada setiap jiwa, maka janganlah lagi kita menodai kesucian cinta dengan sikap dan perilaku buruk kita!
“Abi Abi, kepala Umi sakit sekali bi” keluh seorang istri kepada suaminya. Dengan sangat sigap sang suami mengambil sikap siap sedia, bagai seorang prajurit ayan mendapat perintah dari komandannya. Segera ia menghampiri sebuah kotak yang terletak di salah satu sudut rumah. Di dalam kotak tersebut, terdapat banyak obat-obatan bertuliskan herbal. Wajar, sebab di awal paragraf tadi disebutkan bahwa pasangan suami istri ini menggunakan istilah Abi dan Umi.
Kembali ke cerita. Sang suami pun mengambil sebuah botol obat, tak lupa ia juga mengambil segelas air. Setelah doa berada di samping sang istri, ia berkata “Umi ini mi diminum dulu obatnya” tak lupa sambil mengingatkan untuk membaca Basmalah tentunya.
Bagi anda yang sudah berkeluarga, barangkali kisah tersebut di atas akan membangkitkan bayangan romantisme yang pernah atau akan terjadi antar suami istri. Namun bagi yang belum berkeluarga tidak perlu kecewa. Sebab, tulisan ini tidak akan membahas tentang romantisme dalam rumah tangga.
Kisah di atas hanyalah kisah fiktif yang muncul dari khayalan penulis. Walaupun barangkali, kisah tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Berikutnya akan kita bahas beberapa kisah nyata yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia yang paling mulia, yakni Rasulullah ﷺ.
Kisah pertama terjadi dalam rumah tangga beliau, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah riwayat:
Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam (biasa) memberikan perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan cara mengusap dengan tangan kanannya seraya berdoa “Yaa Allah Rabb Manusia! Hilangkanlah sakit, sembuhkanlah karena Engkau adalah Maha Penyembuh. Tiada kesembuhan melainkan dari-Mu, kesembuhan yang sama sekali tidak meninggalkan rasa sakit” (HR. Bukhori no: 5734)
Kisah kedua terjadi antara Rasulullah ﷺ dengan sahabatnya:
Dari Utsman bin Abil ‘Ash Ats Tsaqofy ra, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah ﷺ akan rasa sakit yang mendera tubuhnya semenjak ia masuk Islam. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: “Letakkanlah tangan kananmu di atas anggota tubuh yang terasa sakit! Dan ucapkanlah Bismillah tiga kali, kemudian ucapkanlah sebanyak tujuh kali A’udzu billahi wa qudrotihi min syarri mas ajidu wa uhaadziru {Aku berlindung kepada Allah dan kuasa-Nya dari keburukan apa-apa yang aku dapati dan aku hindari}” (HR. Muslim no: 2202)
Kisah ketiga terjadi antara Rasulullah ﷺ dengan Malaikat Jibril AS:
Dari Abu Sa’id Al Khudry ra, bahwasanya Jibril AS pernah mendatangi Nabi ﷺ lalu bertanya: “Wahai Muhammad! Apakah engkau merasa sakit? Beliau menjawab: “Iya”. Jibril berdoa: “Bismillahi urqiika, min kulli syai’in yu’dziika, min syarri kulli nafsin au ‘ainin haasidin, Allahu yasyfiika Bismillahi urqiika {Dengan nama Allah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari keburukan setiap jiwa atau mata yang mendengki, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu}” (HR. Muslim no: 2186)
Perhatikan! Barangkali tiga kisah dari riwayat di atas belum pernah kita lakukan ketika kita atau anggota keluarga kita sedang sakit. Ketika ada yang merasa sakit, dalam benak nabi ﷺ adalah Allah ﷻ, bukan yang lain. Sedangkan banyak di antara umatnya ketika ada yang sakit, pertama kali yang muncul dalam benak mereka adalah Osk*d*n, asp*r*n, paracatamol dan lain-lain. Setelah rasa sakit tak kunjung sembuh, barulah dokter umum yang akan dituju. Jika tak kunjung sembuh juga, maka dokter spesialis yang akan diburu. Barulah ketika semua hal sudah dilakukan, namun hasil tak sesuai harapan, teringatlah bahwa Allah ﷻ adalah Maha Penyembuh.
Dari Abul Mu’alla ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda “Sesungguhnya seorang hamba daripada hamba-hamba Allah ﷻ diberikan pilihan oleh Rabb-nya antara hidup di dunia sampai kapan pun ia kehendaki serta makan padanya sampai kapan pun ia kehendaki dan pilihan untuk bertemu Rabb-nya”. Maka tidak ada seorang pun yang menyadari perkataan Rasulullah ﷺ kecuali Abu Bakar, kemudian ia terisak menangis.
Orang-orang pun berkata “Perhatikanlah orang ini (Abu Bakar), apa yang menyebabkannya menangis? Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya seorang hamba daripada hamba-hamba Allah ﷻ diberikan pilihan oleh Rabb-nya antara hidup di dunia sampai kapan pun ia kehendaki serta makan padanya sampai kapan pun ia kehendaki dan pilihan untuk bertemu Rabb-nya, kemudian hamba tersebut memilih untuk bertemu Rabb-nya. Lalu apa yang menyebabkan orang ini (Abu Bakar) menangis?”.Tatkala Abu bakar mendengar perkataan mereka, ia mengangkat kepalanya dan menghadapkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ, kemudian ia berkata “Sungguh kami akan menebusmu dengan Ayah-ayah kami dan harta-harta kami”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda “Tidak ada seorang pun yang lebih berjasa dalam persahabatan dan dukungan hartanya daripada Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar), seandainya aku boleh menjadikan seorang Khalil (selain Allah) niscaya aku akan menjadikan Ibnu Abi Quhafah sebagai Khalil. Namun, cukuplah ikatan kasih sayang, persaudaraan dan iman. Dan sesungguhnya sahabat kalian (Rasulullah) adalah Khalilullah”.
Fadhoilus Shohabah (Imam Ahmad bin Hanbal)
Waktu Semakin Dekat
Setelah pertemuan Rasulullah ﷺ dengan Abu Muwaihibah di Baqi’, sakit semakin mendera beliau, sehingga tubuh beliau semakin melemah. Waktu untuk berpisah semakin dekat, namun hati tetap tak kuasa untuk menyampaikan kalimat perpisahan. Hingga saat tersebut, hanya Abu Muwaihibah lah yang mengetahui perihal pilihan nabi tersebut.
Dengan semakin dekatnya waktu berpisah, maka kalimat perpisahan harus tetap disampaikan walaupun secara tersirat. Inilah cara terbaik menurut beliau, tetap menyampaikan apa yang harus disampaikan tanpa menimbulkan rasa sedih dalam hati para sahabatnya.
Di tengah sakit yang beliau rasakan, beliau menyempatkan diri untuk naik mimbar, tempat di mana beliau biasa berkhutbah. Beliau bercerita bahwa ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah ﷻ untuk hidup bersenang-senang di dunia sampai waktu yang ditentukan. sedangkan pilihan lainnya adalah untuk segera bertemu Rabb-nya, maka hamba tersebut memilih untuk segera bertemu Rabb-nya.
Beginilah Muslim seharusnya, yakni sakit yang dirasa tidak akan menghalangi dirinya dari menunaikan kewajibannya. Ia juga harus pandai menata kalimat yang keluar dari lisannya, agar tak ada hati yang sedih dan teruka.
Beginilah Muslim seharusnya, yakni kemewahan dunia bukanlah tujuan utamanya. Ridho Allah ﷻ adalah pencapaian akhir yang harus diraihnya.
Sahabat Terdekat Mampu Memahami
Di saat orang-orang menganggap apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ sebagai sebuah berita biasa, akan tetapi ada satu orang yang memahami bahwa apa yang disampaikan adalah sebuah kalimat perpisahan. Dialah Abu Bakar Ash Shiddiq, sahabat terdekat Rasulullah ﷺ. Kebersamaan, cinta dan ikatan batin antara keduanya mendobrak semua pintu rahasia dalam jiwa.
Menangislah Abu Bakar sejadi-jadinya, akibat perpisahan yang akan terjadi antara dirinya dengan orang yang sangat dicintainya. Bahkan ayah, ibu, anak dan harta akan ia korbankan asalkan bisa tetap bersama Rasul tercinta.
Beginilah Muslim seharusnya, yakni selalu berusaha memahami akan apa yang terjadi terhadap saudaranya. Ia juga harus rela berkorban demi sesama Muslim lainnya.
Pada Hakikatnya Beliau Tetap Bersama Umatnya
Sebelum beliau pergi meninggalkan para sahabat dan umatnya, beliau memberikan sebuah pesan yang sangat berharga. Imam Malik meriwayatkan:
Bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda: Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah (Hadits) Nabi-Nya ﷺ.[1]
Raga mungkin terpisah, namun nasihat dan bimbingan tetap membersamai umatnya. Ia melebur dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, seperti udara yang kita hela, ia selalu ada. Siapa saja yang menghirupnya maka ia akan masuk ke dalam setiap ruang diri kita, sehingga hiduplah kita dengan bimbingannya.
Kami Rela Melepasmu
Wahai Rasul! wahai Kholilullah!. Sudah cukup semua yang telah engkau berikan kepada kami -umatmu-, kami rela engkau tinggalkan. Sungguh besar pengorbananmu untuk kami -umatmu-, semoga Sholawat serta Salam senantiasa menyertaimu.
Janganlah engkau risau!, bahkan kami bersaksi bahwa engkau telah melaksanakan semua perintah yang Allah ﷻ berikan, engkau telah menunaikan semua amanat yang telah diberikan dan tak ada satu pun berita yang engkau sembunyikan dari kami. Maka berbahagialah engkau wahai pribadi yang jujur, tepercaya dan penuh cinta.
Sungguh kami malu jika harus menerima kebaikan darimu lagi, sudah terlalu banyak hal yang tak mampu kami balas. Kini saatnya engkau mendapatkan apa yang engkau inginkan, yakni bertemu dengan Sang Ilahi –Rabbul ‘Alamin-. Doakanlah kami -umatmu- agar Allah ﷻ mengampuni kami, semoga kami bertemu denganmu di tempat dimana engkau berada.