JALAN YANG LURUS

JALAN YANG LURUS

Seorang Manusia, dengan segala macam kelebihan yang dimilikinya, tetaplah ia adalah seorang hamba yang senantiasa membutuhkan Allah ﷻ. Mereka butuh pertolongan, petunjuk, kasih sayang, serta ampunan dari Allah ﷻ. Berkaitan dengan apa yang dibutuhkan oleh Manusia, Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi Manusia untuk terus-menerus meminta kepada-Nya akan apa saja yang dibutuhkan oleh mereka.

Bukan sebatas kesempatan, bahkan Allah ﷻ memerintahkan Manusia untuk secara khusus meminta kepada Allah ﷻ, akan apa yang paling mereka butuhkan dalam kehidupan. Dalam setiap sholat yang dikerjakan, Allah ﷻ mengharuskan adanya bacaan surat Al-Fatihah, yang di dalamnya ada sebuah permintaan:

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ 

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Setiap bagian waktu yang terlewati dalam kehidupan ini, adalah jengkal demi jengkal langkah kaki menuju Akhirat yang abadi. Jika salah dalam melangkah atau menentukan arah, maka Neraka akan menjadi tempat kembali.

Bukalah Mushaf yang ada di hadapan Anda! Kemudian carilah di mana surat Al-Fatihah berada. Iya, surat tersebut berada dalam urutan pertama. Di surat itulah permintaan tersebut berada, yakni permintaan untuk mendapatkan petunjuk jalan yang lurus.

Jawaban Itu Sangat Dekat

Tidak jauh dari tempat di mana permintaan tersebut berada, Allah ﷻ langsung memberikan jawaban dalam surat setelahnya, yakni surat Al-Baqarah. Allah ﷻ berfirman:

الٓمٓ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ 

Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

Sebuah permintaan yang langsung Allah ﷻ berikan jawabannya. Berulang kali dalam shalatnya, seorang hamba meminta kepada Allah ﷻ, agar ia diberikan petunjuk jalan yang lurus. Maka Allah ﷻ menegaskan, bahwa apa yang diminta, jawabannya adalah dengan mengikuti pesan yang ada di dalam Al-Quran.

Setiap hal yang sangat dibutuhkan oleh Manusia dalam hal Akhiratnya, pasti Allah ﷻ berikan, bahkan sebelum seorang hamba memintanya. Namun, jika yang diminta oleh seorang hamba adalah sesuatu yang bersifat Duniawi, maka Allah ﷻ menyesuaikan berdasarkan hikmah dan ilmu-Nya.

Jika yang diminta berdampak baik bagi seorang hamba, maka Allah ﷻ akan memberikan apa yang diminta. Jika yang diminta berdampak tidak baik, maka Allah ﷻ akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah ﷻ juga memperhatikan, kapan sesuatu yang diminta itu akan diberikan. Maka janganlah terburu-buru! Allah ﷻ lebih tahu, kapan permintaan hamba diberikan.

TEKNOLOGI SUARA SANGKAKALA

TEKNOLOGI SUARA SANGKAKALA

Teknologi perintah suara yang dalam istilah bahasa inggris disebut automatic speech recognition (ASR), adalah suatu sistem yang memungkinkan perangkat untuk mengenali dan memahami kata-kata atau suara.

Hasil dari identifikasi kata atau suara yang diucapkan dapat ditampilkan dalam bentuk tulisan atau dapat dibaca oleh perangkat teknologi sebagai sebuah komando atau perintah untuk diproses menjadi suatu pekerjaan.[1]

Secara singkat cara kerja teknologi perintah suara ada 3, yaitu:

  1. Input data suara
  2. Proses data atau identifikasi
  3. Output berupa pekerjaan atau tindakan

Lalu, apa hubungan teknologi ini dengan kaum Muslimin?

Bukan di Tangan Kaum Muslimin

Penulis ingin menyampaikan bahwa saat ini teknologi tersebut tidak berada di tangan kaum Muslimin. Bermacam perusahaan besar yang dimiliki oleh non muslim sedang berlomba-lomba untuk mengembangkannya, sebut saja Google, Apple, Microsoft, dll.

Padahal sesungguhnya di tangan kaum Muslimin lah teknologi tersebut seharusnya berada; di tangan kaum Musliminlah teknologi tersebut seharusnya dikembangkan; dan bahkan di tangan kaum Musliminlah seharusnya semua teknologi dikuasai.

Teknologi Gelombang Suara Sudah Ada di Al-Qur’an

Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, mengapa penulis menyatakan demikian?

Sebab, kunci untuk menguasai teknologi tersebut ada di dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah ﷺ yang notabenenya dimiliki oleh kaum Muslimin.

وَنُفِخَ فِي ٱلصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا مَن شَآءَ ٱللَّهُۖ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخۡرَىٰ فَإِذَا هُمۡ قِيَامٞ يَنظُرُونَ ٦٨

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)” (QS. Az-Zumar: 68)

Ibnu Jarir Ath Thobari menyebutkan salah satu pendapat tentang makna Ash Shur di dalam tafsirnya. Beliau mengutip sebuah riwayat yang berbunyi “Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang (makna) Ash Shur, beliau pun menjawab: Terompet/sangkakala yang ditiup padanya”.[2]

Lebih lanjut Allah ﷻ berfirman:

 يَوۡمَ يَسۡمَعُونَ ٱلصَّيۡحَةَ بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكَ يَوۡمُ ٱلۡخُرُوجِ ٤٢

“(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur)” (QS. Qoof: 42)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ash Shoyhah adalah suara yang berasal dari tiupan sangkakala.

Jelaslah bagi kita bahwa sebenarnya teknologi perintah suara yang ada saat ini, sangatlah mirip dengan peristiwa yang digambarkan di dalam Al-Qur’an. Yakni saat ada suara tiupan sangkakala yang menjadi input data, kemudian alam semesta memahami arti dari suara tersebut. Selanjutnya, terjadilah peristiwa yang menghancurkan alam semesta dan matilah semua makhluk yang ada.

Begitu pula dengan peristiwa kebangkitan setelah kematian. Diawali dengan tiupan sangkakala yang kedua, kemudian diikuti dengan serangkaian peristiwa bangkitnya manusia dari kuburnya.

Mukjizat Al-Qur’an

Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ! Jika memang benar bahwa Allah ﷻ sudah memberikan isyarat akan adanya teknologi tersebut melalui ayat-ayat suci-Nya, lalu mengapa bukan kaum muslimin yang mendapatkan inspirasi untuk menemukan dan menguasai teknologi tersebut?

Ya, barangkali kita baru sebatas membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan belum mampu memahami, apalagi menggali inspirasi darinya. Padahal, Al-Qur’an itu merupakan sumber inspirasi, karena di dalamnya ada petunjuk, rahmat, dan kabar gembira dengan segala bentuk kemukjizatannya.

Allah ﷻ berfirman:

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. An-Nahl: 89)

Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ! Mungkin hal ini seharusnya disampaikan puluhan tahun lalu sebelum teknologi perintah suara ditemukan. Namun, tidak ada salahnya hal ini tetap disampaikan agar kita semakin sadar bahwa kaum Muslimin harus bangkit dari tidur panjangnya. Kaum Muslimin harus segera menguatkan fondasi imannya, berpegang teguh serta mempelajari kitabullah dan sunnah Rasulnya.

Allah ﷻ berfirman:

…. وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢

“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqoroh: 282)

Jangan pernah silau akan kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh non muslim. Sebab sejatinya, mereka baru menemukan sebutir pasir dari sekian banyak kemukjizatan Al-Qur’an yang tersebar bagaikan hamparan di padang sahara. Semoga kita atau anak cucu kita  mampu menemukan butiran pasir lainnya.

Wallahu a’lam bis showaab


[1] id.m.wikipedia.org/wiski/Pengenalan_ucapan

[2] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad Abdullah bin Amru No.6507 dan diriwayatkan pula oleh imam Abu Dawud, At Tirmidzi dan Al Hakim. Terompet atau sangkakala di zaman nabi biasa terbuat dari tanduk kerbau.

BULAN RAMADHAN

BULAN RAMADHAN

Saudaraku, bulan Ramadhan adalah sebuah karunia besar di antara sekian banyak karunia Allah ﷻ yang telah diberikan kepada kita. Di antara karunia-karunia tersebut, ada karunia yang berkaitan dengan ikhtiar Manusia untuk mendapatkannya seperti harta, pasangan, keturunan dan lain sebagainya. Adapun bulan Ramadhan, ia adalah karunia yang sama sekali tidak berkaitan dengan ikhtiar Manusia. Bahkan sudah menjadi ketentuan dari Allah ﷻ akan kedatangannya menghampiri Manusia setiap tahunnya.

Pertanggungjawaban Nikmat

Setiap nikmat atau karunia tentu akan diminta pertanggung jawabannya, begitu pula dengan karunia berupa Ramadhan. Allah ﷻ berfirman:

ثُمَّ لَتُسۡأَلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. [At Takathur:8]

Saudaraku, bagaimana jawaban kita kelak ketika ditanya “Bagaimana engkau menyambut datangnya kenikmatan itu? Bagaimana engkau beramal di waktu itu? Dan bagaimana sikapmu ketika kenikmatan itu telah berlalu?”.

Saudaraku, mari kita simak bagaimana Rasulullah ﷺ dan generasi terdahulu mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Ramadhan:

قال معلى بن الفضل عن السلف رحمهم الله: “كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم رمضان، ثم يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم”

Ma’la bin al Fadhl menceritakan perihal Salaf terdahulu: “Mereka senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ semenjak 6 bulan (sebelum Ramadhan) agar Allah ﷻ menyampaikan mereka pada bulan Ramadhan, kemudian mereka terus berdoa kepada Allah ﷻ selama 6 bulan setelah Ramadhan agar Allah ﷻ menerima amalan mereka.

وقال يحي بن أبى كثير: “كان من دعائهم: اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِيْ إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـيْ رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِيْ مُتَقَبَّلاً”

Yahya bin Abi Katsir berkata: “Di antara doa Salaf terdahulu adalah: Ya Allah! Sampaikanlah aku hingga bulan Ramadhan, dan sampaikanlah Ramadhan kepadaku, serta terimalah amalan-amalanku di bulan Ramadhan”[1]

Kapan Menyambut Ramadhan?

Saudaraku, enam bulan sebelum Ramadhan generasi terdahulu sudah mampu merasakan akan datangnya bulan Ramadhan. Padahal di penghujung Sya’ban saja sering kali kita belum mampu merasakan apa-apa. Terasa mengherankan mungkin, namun cinta dan rindu itu dari dulu memang seperti itu.

Saudaraku, dalam cinta dan rindu tak ada batasan tempat dan waktu. Lihatlah cinta dan rindu Ya’qub AS kepada Yusuf AS. Di mana baju Yusuf AS masih berada bermil-mil jauhnya, namun cinta dan rindu mengantarkan aroma Yusuf AS kepadanya. Allah ﷻ berfirman:

وَلَمَّا فَصَلَتِ ٱلۡعِيرُ قَالَ أَبُوهُمۡ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَۖ لَوۡلَآ أَن تُفَنِّدُونِ  ٩٤ [ يوسف: 94]

Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)”. [Yusuf:94]

قَالُواْ تَٱللَّهِ إِنَّكَ لَفِي ضَلَٰلِكَ ٱلۡقَدِيمِ  ٩٥ [ يوسف: 95]

Keluarganya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu”. [Yusuf:95]

Asy Syarif ar Ridho pernah mengungkapkan dalam sya’irnya:

سهم أصاب وراميه بذي سلم           من بالعراق، لقد أبعدتِ مرماكِ

Sebuah anak panah mengenai padahal pemanahnya ada di Dzi Salam (Hijaz)

Orang yang ada di Iraq, sungguh sangat jauh sasaranmu itu

Saudaraku, jarak antara perbatasan Mesir dan Palestina tidak menghalangi aroma Yusuf u, sebagaimana orang yang berada di Iraq juga tak luput dari anak panah yang dilesatkan dari Hijaz. Cinta dan rindulah rahasianya. Jika kita benar-benar cinta pada bulan Ramadhan, maka akan ada rindu, dan rindu itulah yang akan menghadirkan suasana Ramadhan di setiap bulan yang kita lewati.


[1] لطائف المعارف لابن رجب (ص148)

KESUCIAN CINTA

KESUCIAN CINTA

Apa Itu Cinta?

Cinta adalah sebuah ungkapan rasa yang tidak sederhana, ia mudah diucapkan namun sangat sulit untuk didefinisikan. Rasa cinta sering memunculkan bermacam sikap dan perilaku yang berbeda. Sikap dan perilaku yang baik akan membawa nama baik cinta, sedangkan sikap dan perilaku yang buruk akan membawa pula nama buruk cinta.

Allah ﷻ membekali setiap makhluk-Nya dengan cinta, sehingga dunia ini berjalan sebagaimana mestinya. Matahari, Bumi, Bulan, Bintang, semuanya bergerak sesuai posisinya karena cinta mereka kepada Allah ﷻ. Pohon berbuah, sungai mengalir, angin berhembus, serta lautan bergelombang, semuanya juga dikarenakan cintanya kepada Allah ﷻ.

Perhatikanlah hewan ternak yang menyusui anaknya, burung yang mencari makan untuk anaknya, serta hewan lain yang sedang bersama anak mereka. Bukankah semua itu terjadi karena Allah ﷻ menanamkan rasa cinta dalam diri makhluk tersebut terhadap anak-anak mereka? Demikian juga manusia, sesungguhnya Allah ﷻ juga telah menanamkan rasa cinta ke dalam dada kita.

Apa Salah Cinta?

Sering kali cinta disalahkan dan harus menanggung beban, seolah ia harus selalu bertanggung jawab atas perbuatan buruk manusia yang mengatasnamakan cinta. Terkadang ia disebut gila ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta kehilangan akalnya, terkadang ia disebut buta ketika ada manusia yang sedang jatuh cinta tak mampu melihat apa yang ada dengan mata kepalanya. Bahkan ia dikatakan sebagai sesuatu yang jahat, keji dan hina, manakala ada manusia yang sedang jatuh cinta merasa tersakiti, kecewa hingga binasa.

Sekali lagi, bukan salah cinta. Sesungguhnya sikap dan perilaku manusialah yang mengotori kesucian cinta. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta. Perhatikanlah bagaimana sikap Rasulullah ﷺ terhadap mereka yang sedang jatuh cinta:

عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ، كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعبَّاسٍ: «يَا عَبَّاسُ، أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا» فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ رَاجَعْتِهِ» قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: «إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ» قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيهِ.

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Bariroh adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Bariroh di belakangnya sambil menangis dan air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Maka Nabi bersabda kepada ‘Abbas, “Wahai ‘Abbas! Tidakkah engkau heran terhadap besarnya cinta Mughits kepada Bariroh, serta besarnya kebencian Bariroh terhadap Mughits?.”

Lalu Nabi bersabda kepada Bariroh, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”

Bariroh mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Apakah sedang memberikanku perintah?”

Nabi menjawab, “Sesungguhnya aku hanya menjadi Syafi’ (perantara)”

Bariroh berkata, “Aku tidak ada kebutuhan padanya.” (HR. Bukhori no. 5283)

Kisah Cinta Mughits

Bariroh menjadi wanita merdeka, sedangkan Mughits tetap dalam statusnya sebagai seorang budak. Karena di antara mereka sudah tidak lagi sekufu’, maka Bariroh berhak untuk minta diceraikan atau dipisahkan dari suaminya.

Sang mantan suami yang masih sangat mencintai Bariroh, tidak mampu lepas dari bayang-bayangnya. Sering kali ia mengikuti Bariroh sambil berlinang air mata, berharap agar Bariroh kembali ke dalam pelukannya. Namun faktanya, tidak terbesit sedikit pun dalam hati Bariroh untuk kembali.

Melihat kondisi tersebut, Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela cinta yang ada pada diri Mughits. Bahkan beliau memberi saran kepada Bariroh untuk kembali kepada Mughits, agar mata yang menangis dan hati yang terluka karena rasa cinta, kembali terobati oleh cinta pula.

Kisah senada juga pernah terjadi, ketika seorang sahabat mengadu kepada Nabi ﷺ akan perilaku buruk istrinya. Saat itu beliau menyarankan agar ia menceraikan istrinya, namun sahabat tersebut merasa berat karena ia masih sangat mencintai istrinya tersebut. Akhirnya Rasulullah ﷺ pun membiarkannya dan tak pernah sekalipun mencela dan menyalahkan cinta.

Masihkah kita mencela dan menyalahkan cinta?

Jika cinta kita tujukan dan kita tempatkan serta dibingkai sebagaimana mestinya, tentulah ia tetap pada kesuciannya. Cinta pada dunia tidak seharusnya menjadikan kita takut akan kematian dan lupa akan akhirat. Cinta pada selain Allah ﷻ tidak seharusnya mengalihkan cinta kita kepada Allah ﷻ.

Belajarlah dari Nabi kita ﷺ, bagaimana beliau mencintai istri, anak, keluarga, sahabat dan umat. Bahkan beliau juga mencintai tempat dan benda lainnya seperti: Makkah, Madinah, wewangian, kendaraan serta Hajar Aswad.

Cinta adalah Anugrah dari Yang Maha Kuasa kepada setiap jiwa, maka janganlah lagi kita menodai kesucian cinta dengan sikap dan perilaku buruk kita!

Salam cinta………..

SEPERTI UTRUJJAH

SEPERTI UTRUJJAH

Dahulu Utrujjah atau Utrunjah merupakan salah satu buah elit di kalangan masyarakat Arab. Harganya pun cukup mahal, sehingga di salah satu pembahasan fiqih, buah Utrujjah dijadikan sebagai patokan nishob hukum potong tangan. Artinya, ketika seseorang mencuri buah Utrujjah maka ia akan dikenakan hukuman potong tangan.

Apa sebenarnya yang membuat buah Utrujjah begitu berharga?

  1. Harum baunya
  2. Indah warna dan bentuknya
  3. Manis rasanya
  4. Lembut tekstur dan daging buahnya

Siapapun yang memakan buah Utrujjah, maka keempat panca indera; indera penglihatan, indera perasa, indera peraba, dan indera pengecap akan merasakan nikmat luar biasa. Jika saja buah tersebut mampu bicara, barangkali suaranya pun merdu ketika ditangkap oleh indera pendengar.

Begitulah gambaran seorang mukmin yang gemar membaca Al Qur’an. Suara bacaan Al Qur’an seorang mu’min akan dinikmati para pendengarnya, laksana semerbak harum Utrujjah yang memikat. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

Perumpamaan orang mu’min yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah Utrujah, baunya wangi dan rasa buahnya enak. Dan perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan buah Kurma, tidak berbau namun rasanya enak. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an, bagaikan buah Raihanah, baunya enak namun rasanya pahit. Dan perumpaman orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, bagaikan buah Hanzalah, tidak berbau dan rasanya pahit.

HR. Imam Bukhori No.5427 dan Imam Muslim No.797

Memandang seorang mu’min pun begitu membahagiakan. Seolah kejernihan hati dan iman yang ada dalam hatinya terpancar dan terlihat jelas dari wajahnya. Melihat wajah teduhnya menimbulkan kerinduan untuk segera berinteraksi dan berada di dekatnya, sebagaimana kerinduan seseorang untuk memegang dan mencicipi kelezatan buah Utrujjah setelah melihatnya.

Keindahan yang terbias dari seorang mu’min yang gemar membaca Al Qur’an, membuat siapa pun yang ada di dekatnya seolah sedang menikmati manisnya buah Utrujjah melalui perangai dan tutur katanya.

Tatapannya teduh dan hatinya lembut ibarat tekstur buah Utrujjah, sehingga siapapun akan mudah berinteraksi dan merasa senang berada di dekatnya. Sebagaimana buah ini tidak mengecewakan penikmatnya, begitu pula dengan mu’min yang gemar membaca Al Qur’an. Ia tidak akan menyusahkan, mengecewakan atau melukai perasaan saudaranya.

Namun, mengapa kini banyak kita jumpai ‘Utrujjah’ yang hanya harum baunya, tetapi bentuk dan warnanya tidak menarik? Rasanya pun tidak manis bahkan pahit dan tekstur dagingnya keras. Mengapa bisa demikian?

Barangkali, ‘Utrujjah’ yang kita jumpai saat ini dipetik dari pohon sebelum masanya, sebelum ia benar-benar matang.

Ya, barangkali seorang mu’min yang membaca Al Qur’an saat ini banyak yang dipetik dari pohon sebelum masak dan ranum imannya. Maka, ia hanya merdu suara bacaannya, namun kasar perangainya, pahit tutur katanya, serta tak elok penampilannya.